Minggu, 23 Januari 2011

Matematika VS Karakter

Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang menyelenggarakan kuliah Umum dengan menghadirkan Prof. Dr. Sri Wahyuni dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan tema Peningkatan Kontribusi Mahasiswa dan Pembelajaran Matematika dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa. Kegiatan tersebut diikuti oleh seluruh mahasiswa semester awal dan dosen Jurusan Pendidikan Matematika. Kuliah umum ini bertujuan untuk melihat sisi lain dari Matetematika dan implementasi dalam kegiatan sosial.
Dalam kuliah umum tersebut Prof. Sri Wahyuni menyampaikan bahwa Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Dengan bernalar anak bisa membedakan  ini baik atau buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan bernalar anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Dengan demikian tahap demi tahap perkembangan karakter anak mulai terbentuk.
Prof. Sri Wahyuni memberi ilustrasi bagaimana matematika berperan dalam pembentukan karakter bangsa.  Dia mencontohkan seorang yang mempunyai kebiasaan  menghidupkan kran air ketika sedang menggosok gigi. Dan menurut dokter gigi sebaiknya gosok gigi dilakukan 2x sehari. Dianggap setiap menggosok gigi membutuhkan waktu tiga menit, maka  kran air akan hidup hanya untuk menggosok gigi. Jika debit air yang mengalir di kran itu enam liter per menit maka untuk sehari berapa liter air yang akan dihabiskan untuk satu  orang menggosok gigi. Bisa dikalikan dalam enam menit sehari berarti butuh 36 liter air untuk dua kali gosok gigi. Kalau dalam seminggu berapa air yang terbuang, bagaimana jika satu kota melakukan kebiasaan yang sama???. Padahal untuk satu kali gosok gigi cukup satu gelas untuk sebelum memasukkan odol dan dua gelas untuk kumur-kumur.
Dengan pelajaran diatas karakter hemat bisa ditanamkan pada siswa. Dengan demikian pembelajaran Matematika yang berorientasi pada pengembangan potensi olah pikir peserta didik sangat strategis berkontribusi pada pencapaian tujuan karakter bangsa dari pendidikan nasional, yaitu karakter cerdas yang dilandasi nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

Sumber : www.ikippgrismg.ac.id

READ MORE - Matematika VS Karakter

Sabtu, 01 Januari 2011

Tahun Baru dengan Ujian Lama

Setiap tahun, pelaksanaan ujian nasional di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di DIY, senantiasa lekat dengan kisah kecemasan. Waktu bergulir dan zaman berganti, kelulusan dalam ujian—dari tahun ke tahun—masih saja menjadi ajang ”hidup-mati”. Menjadi pertaruhan siswa selama tiga tahun mereka menjalani proses pendidikan.

Pada tiga tahun terakhir selalu tercatat ada ribuan siswa SMP dan SMA di DIY yang gagal dalam ujian nasional. Pada jenjang pendidikan SMP, hampir 4.500 siswa tidak lulus ujian pada tahun ajaran 2007/2008. Dua tahun berikutnya, kendati jumlah siswa SMP yang tidak lulus ujian berkurang, tetap saja masih banyak, yang mencapai 3.000 siswa.

Kondisi tidak jauh berbeda dialami siswa yang menempuh ujian di bangku SMA. Sebanyak 1.568 pelajar DIY tidak lulus UN SMA, MA, dan SMK tahun ini, yang terdiri atas 1.027 murid SMA dan MA serta 541 murid SMK.

Angka ketidaklulusan tersebut memang menurun dibandingkan dengan pelaksanaan UN dua tahun sebelumnya, namun tetap saja ujian akhir menyisakan persoalan pada ribuan siswa yang gagal.

Penentu kelulusan

Hasil UN menjadi sangat penting bagi siswa karena awalnya menjadi penentu kelulusan. Tak sedikit siswa merasakan pahitnya dampak penentu kelulusan ini. Enam tahun berjalan, sejak tahun ajaran 2002/2003, keberadaan UN sebagai penentu kelulusan mulai berubah.

Pada tahun ajaran 2009/2010, hasil UN tidak menjadi penentu kelulusan siswa dari SMA dan MA. Hal ini karena hasil UN akan diserahkan kepada guru dan sekolah masing-masing untuk diolah kembali atau disatukan dengan ujian sekolah.

Kendati tak lagi menjadi penentu kelulusan, masih banyaknya siswa SMP dan SMA di DIY yang gagal dalam UN tetap menjadi persoalan tersisa yang idealnya mampu dipecahkan.

Siswa yang dinyatakan lulus berarti sudah rampung dalam segala aspek pendidikan, mulai dari seluruh program pendidikan, lulus aspek akhlak dan kepribadian, lulus mata pelajaran yang diujikan sekolah, dan termasuk lulus UN. Artinya, tidak lulus UN masih bisa menyebabkan siswa tidak bisa dinyatakan menamatkan pendidikan di jenjang SMP atau SMA.

Kualitas pendidikan

Keberadaan UN menjadi penting karena memberikan gambaran kualitas pendidikan sekolah di seluruh Indonesia. Kenyataannya, wilayah yang dikenal berada pada tataran penyelenggaraan pendidikan bermutu seperti DIY masih saja menghadapi persoalan besar: banyak siswa tak lulus.

Secara sederhana, gambaran syarat pendidikan memadai tecermin dari ketersediaan tenaga pengajar. Ketersediaan guru di DIY sejak empat tahun lalu terbilang lebih dari cukup.

Tahun 2006, rasio guru dan siswa pada SMP dan madrasah tsanawiyah masing-masing 1 : 11 dan 1 : 8. Di jenjang SMA dan SMK, rasio guru dan siswa sama, yakni 1 : 9, sedangkan pada pendidikan MA rasionya 1 : 6. Rasio guru dan murid itu lebih baik dibandingkan dengan Malaysia (1 : 2) atau Jepang (1 : 20) yang dikenal sebagai negara maju.

Mencermati kenyataan hasil UN dan indikator ketersediaan guru tersebut saja setidaknya menjadi tolok ukur bahwa misi pemetaan kualitas pendidikan lewat UN idealnya baru bisa dicermati apabila hasil ujian juga mempertimbangkan variabel lain.

Tanpa upaya lebih serius dari pemerintah untuk memahami variabel-variabel yang memengaruhi mutu pendidikan bisa dipastikan proses menuju kelulusan siswa pada tahun ajaran baru mendatang hanya kembali mengulang cerita kesedihan tentang ujian ”gaya” lama.

 

Sumber : Kompas.com

READ MORE - Tahun Baru dengan Ujian Lama