Kamis, 02 September 2010

STRATEGI PEMBELAJARAN CTL

Abstrak

Dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah mengalami reformasi besar-besaran sejak digulirkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Filosofi pembelajaran telah bergeser dari strukturalisme/objektivisme/behaviorisme ke arah konstruktivisme. Orientasi kurikulum berubah, dari berorientasi materi (Content Based Curriculum) ke arah kompetensi (Competency Based Curriculum). Perubahan mendasar ini tentu tidak akan memiliki banyak arti manakala tidak didukung oleh komponen-komponen yang lain untuk juga melakukan perubahan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan kurikulum tersebut belum mendapat dukungan yang seimbang dari para pelaku kurikulum di sekolah, khususnya guru. Hal ini mengakibatkan dunia pendidikan kita belum mengalami perkembangan yang signifikan. Dengan demikian, diharapkan kemauan yang sungguh-sungguh dari para guru sebagai pelaku kurikulum di sekolah untuk melakukan perubahan sesuai dengan paradigma yang berlaku saat ini.
Latar Belakang
Dunia pendidikan kita sesungguhnya telah mengalami reformasi besar-besaran sejak digulirkannya kurikulum 2004, yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum berbasis kompetensi bahkan bukan sekedar reformasi kurikulum, tetapi barangkali lebih tepat disebut revolusi kurikulum. Hal ini disebabkan dalam KBK telah terjadi perubahan hingga menyentuh hal yang paling prinsip dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Filosofi pembelajaran telah bergeser dari strukturalisme/objektivisme/ behaviorisme ke arah konstruktivisme. Jika sebelumnya kurikulum kita lebih berorientasi materi (Content Based Curriculum), saat ini lebih ditekankan pada kompetensi (Competency Based Curriculum). Dengan kata lain, jika pada kurikulum sebelumnya guru mengajar dimulai dari kata tanya, ”siswa tahu apa?” sehingga siswa akan diajari untuk tahu tentang sesuatu. Pada KBK guru mengajar berangkat dari sebuah pertanyaan, ”siswa bisa apa?” Hal ini didasari pemikiran bahwa, mereka yang tahu belum tentu bisa, tetapi mereka yang bisa sudah barang tentu mereka tahu. Dengan demikian, diharapkan kelak setelah lulus siswa mampu hidup dengan skills (baca: kompetensi) yang didapatnya dari dunia pendidikan.
Sebagai suatu konsep, tentu saja KBK, yang dalam pelaksanaannya disempurnakan menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pada tahun 2006 tidak akan memiliki makna jika tidak didukung oleh kemauan berbagai pihak, terutama guru, dalam mengimplementasikannya. Kemauan ini di antaranya dapat berupa kemampuan guru dalam memahami konsep dasar mengajar dan memilih satrategi pembelajaran yang sejalan dan sesuai dengan KBK maupun KTSP.
Konsep Dasar Mengajar
Bagi guru, memahami konsep dasar mengajar merupakan hal yang sangat esensial. Kemampuan memahami dan menempatkan konsep dasar mengajar inilah yang menjadi penentu perilaku guru dalam kegiatan pembelajaran. Jika seorang guru beranggapan bahwa mengajar adalah sekedar transformasi pengetahuan, maka dia akan berusaha sedapat mungkin agar pengetahuan yang dimilikinya dapat ditransfer kepada siswa-siswanya melalui cara yang diyakininya efektif. Dalam keadaan demikian, posisi siswa menjadi sangat lemah, baik dalam proses maupun hasil. Dalam proses, siswa menjadi lemah karena harus patuh terhadap apapun yang diinstruksikan sang guru meskipun tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Sedang dalam hasil, siswa menjadi lemah karena dia hanya menjadi potret mini gurunya, yang itu belum tentu sesuai dengan tuntutan dunia yang dihadapinya kelak. Kondisi yang demikian jelas tidak menguntungkan. Karenanya, guru harus mampu menempatkan diri pada konsep dasar mengajar yang benar, yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Sedikitnya ada empat hal yang membedakan prilaku masing-masing guru dalam kegiatan pembelajaran sebagai akibat perbedaannya dalam memahami konsep dasar mengajar sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

Mengajar untuk Menyampaikan Materi

Mengajar untuk Mencapai Kompetensi

§ Proses pengajaran berorientasi pada guru (teacher centered)


§ Siswa sebagai objek belajar


§ Kegiatan pembelajaran terjadi pada tempat dan waktu tertentu


§ Tujuan pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran

§ Proses pengajaran bertorientasi pada siswa (student centered)

§ Siswa sebagai subjek belajar

§ Kegiatan pembelajaran berlangsung di mana saja

§ Tujuan pembelajaran adalah tercapainya kompetensi

 

 

 

 

Dari tabel di atas dapat diambil pengertian bahwa, jika kita sepakat melakukan reformasi dengan berpedoman pada KBK dan KTSP, maka yang harus dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran adalah (1) menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan pembelajaran, (2) menjadikan siswa sebagai subjek belajar, (3) tidak membatasi ruang dan tempat pembelajaran, serta (4) menempatkan ketercapaian kompetensi sebagai tujuan pembelajaran.
Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan pembelajaran adalah bahwa, kegiatan pembelajaran tidak semata-mata ditentukan oleh selera guru, akan tetapi lebih ditentukan oleh siswa itu sendiri. Hendak belajar apa siswa dari topik yang dipelajari, bagaimana cara memelajarinya, bukan hanya guru yang menentukan. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri. Dengan demikian, peran guru berubah dari peran sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator, dinamisator, dan katalisator. Guru hanyalah salah satu sumber belajar yang lebih berperan sebagai orang yang membantu siswa untuk belajar.
Menjadikan siswa sebagai subjek belajar memiliki arti siswa tidak dianggap sebagai organisme yang pasif, yang hanya sebagai penerima informasi, akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang memiliki potensi untuk berkembang. Siswa adalah individu yang memiliki kemampuan dan potensi.
Tidak membatasi ruang dan tempat pembelajaran dapat dipahami bahwa, proses pembelajaran dapat terjadi di mana saja. Kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar siswa. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan kesesuain dengan kompetensi dasar yang sedang dipelajari. Ketika siswa memelajari KD menyusun paragraf deskriptif bertemakan alam misalnya, maka yang paling tepat tentunya siswa diajak ke alam terbuka agar apa yang mereka tulis betul-betul memiliki makna deskripsi yang utuh dan luas.
Sedangkan yang dimaksud menempatkan ketercapaian kompetensi sebagai tujuan pembelajaran adalah memahami bahwa tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi, akan tetapi proses untuk mencapai suatu kompetensi.  Oleh karena itu penguasaan materi pelajaran bukanlah akhir dari proses pembelajaran, akan tetapi hanya tujuan antara untuk mengantarkan pada kompetensi tertentu.
CTL sebagai Pendekatan Pembelajaran Ramah Siswa
CTL merupakan suatu konsep belajar yang dimotori John Dewey pada tahun 1916. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari pemahaman progresivisme John Dewey. Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga  dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk siswa bekerja dan mengalami, bukan sekedar transfer pengertahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil belajar.
Beberapa hal yang menjadi fokus pendekatan pembelajaran kontekstual adalah:

  1. Belajar Berbasis Masalah (Problem Based Learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan memecahkan masalah.
  2. Pengajaran Autentik (Authentic Instruction), yaitu pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk memelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata.
  3. Belajar Berbasis Inquiri (Inquiry Based Learnig), yang membutuhkan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
  4. Belajar Berbasis Proyek/Tugas (Project Based Learning), suatu pendekatan pembelajaran komprehensif di mana lingkungan belajar didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik, termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengonstruk pembelajarannya, dan mengkulminasikannya dalam produk nyata.
  5. Belajar Berbasis Kerja (Work Based Learning), pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja (baca: dunia nyata) untuk memelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat atau kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.
  6. Belajar Berbasis Jasa-layanan (Service Learning), yaitu penggunaan metodologi pembelajaran yang mengombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.
  7. Belajar kooperatif (Cooperative Learning), pendekatan pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
Untuk mendukung terlaksananya ketujuh fokus pendekatan CTL di atas, guru seharusnya menjadikan hal-hal berikut sebagai asas pembelajaran, yakni:
  1. Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan diperlakukan sebagai mitra kerja.
  2. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.
  3. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
  4. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang maupun yang akan datang.
  5. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung jawab atas setiap kegiatan belajar yang dilakukan.
  6. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakan.
  7. Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif.
Jika beberapa asas pembelajaran di atas mendasari guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran, maka dapat dipastikan sikap guru yang muncul sebagai akibatnya adalah:
  1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat lebih aktif.
  2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
  3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka.
  4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
  5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswa.
  6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
  7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagi pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya di antara keduanya.
  8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang guru sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
  9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluar.
  10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar.
  11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan.
Dapat kita bayangkan seandainya semua guru memahami dan melaksanakan hal-hal di atas pada saat kegiatan pembelajaran, suasana kelas akan tercipta penuh keakraban dan keramahan antara guru dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, dan juga siswa dengan siswa. Suasana seperti itulah yang diidam-idamkan oleh pada konseptor kurikulum agar melalui proses pembelajaran siswa dapat secara cepat dan tepat sampai pada kompetensi yang dipelajari. Pada akhirnya, setiap kompetensi dapat menjadikan siswa memiliki life skills yang sangat berguna bagi hidupnya kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, T. 1994. Multiple Intelligence in the Classroom. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group.
Budiningsih, C. Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dahar, Ratna Wilis. 1998. Teori-teori Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.
Depdiknas. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005.
__________. 2006. Standar Isi. Jakarta: Permendiknas 22 Tahun 2006.
__________. 2006. Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Permendiknas 23 Tahun 2006.
__________. 2006. Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Permendiknas 24 Tahun 2006.
__________.  1994.  Kurikulum dan Pembelajaran.  Jakarta: Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar.  2006.  Manajemen Pengembangan Kurikulum.  Bandung: Rosda.
Mulyasa, E.  2007.  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.  Bandung: Rosda.
__________.  2004.  Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda.
Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Usman, Moh. Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003.  Jakarta: Cemerlang.

0 comments: "STRATEGI PEMBELAJARAN CTL"

Posting Komentar